โKalau gak ada petani gak makan, teh.โ Satu kalimat tersebut menjadi penutup wawancara kami dengan beberapa petani di Pangalengan (Senin, 2 Desember 2024).
Melalui Pak Sutisna, Pak Reza, Pak Asep, dan Pak Nurman kami menjadi lebih memahami betapa menarik sekaligus menyedihkannya dunia pertanian di Indonesia.
Modal serta usaha yang tidak sedikit, seringkali tak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan. Bahkan, ada banyak faktor yang menjadi penghambat kesejahteraan sektor tani di Indonesia.
Modal Besar, Namun Keuntungan Tak Menentu
Bertani merupakan profesi yang membutuhkan tak hanya tekad tapi juga modal besar. Petani hortikultura rata-rata menghabiskan sekitar Rp50 – Rp100 juta untuk modal tergantung luas lahan.
Modal tersebut mencakup pembelian bibit, perawatan, alat tani, pupuk, bahkan biaya distribusi hasil panen nantinya.
Meski begitu, keuntungan hasil tani sangatlah tidak menentu. Untuk beberapa komoditas saja pernah mengalami harga jual yang anjlok sehingga petani merugi.
Dilansir sumber, harga jual berbagai sayuran sempat mencapai titik terendah. Untuk sawi dibanderol harga Rp300 per kilo dan Rp500 per kilo untuk tomat.
Frekuensi Impor yang Tinggi Membuat Petani Lokal Kalah Saing
Apa yang menjadi penyebab anjloknya harga jual komoditas sayuran? Impor adalah salah satu faktor utamanya.
Longgarnya aturan impor disertai dengan frekuensi yang tinggi, membuat hasil panen petani lokal seolah tersingkirkan.
โHarga jual terus anjlok karena pemerintah tetap impor sayur, sudah beberapa tahunโ Ujar Pak Sutisna saat kami tanyakan soal keuntungan yang biasa didapatkan dari penjualan sayuran.
Subsidi Pupuk dari Pemerintah Tak Tepat Sasaran
Tantangan yang juga cukup memberatkan petani adalah sulitnya mengakses pupuk, terutama pupuk subsidi dari pemerintah.
โBeli pupuk juga susah, neng. Kadang suka gak ada di toko atau pasar, kalaupun ada harganya pasti naik beberapa kali lipat.โ
Informasi ini cukup membuat saya merasa sedih, bayangkan situasi serupa menimpa banyak petani terutama di pelosok daerah.
Penyebabnya tentu saja pemberian bantuan pupuk tidak tepat sasaran. Pemerintah seharusnya memiliki alur distribusi yang jelas supaya subsidi sampai di tangan yang tepat.